Maulana
Ishaq Dalam coretan pena
Sepi
Tak tahu sepi,
ada relung terus merenung.
Sebab,
Bahasa diam
mendengar kabar dari sabar.
Dan
Detak-detik jam
Adalah jantung dari alam.
Sajakku
berlabuh dalam perahumu
Di atas batu karang
itulah tubuhmu terlukis menjulang
entah kapan kau datang,
disini kami menunggumu siang
pun malang?
Oh, tak pernah kudengar jejakmu diberanda
Kalaupun malam telah sembunyi dibalik awan,
masih saja kau keluyupan.
Katamu :
“Aku akan hilang dibalik teduhnya awan,
sebab itulah hidupku”
Dengan sepasang mata
bagai biji saga
kau terus mengayuh dalam teduhnya awan,
hingga menari di atas perutnya laut.
Dan kala kau berlayar pada lorong-lorong malam
tak lagi ranjang yang menemanimu
tapi,
ombak dalam bantalmu.
Sajak
ibu
adalah kata yang tak pernah sampai
adalah hidup yang pasti usai
masih
saja kau bumbui aku
dengan
sedap kopyor susumu
lantaran
kau tak pernah mengadu,
sebab
bahasa cinta selalu kau eja.
adalah waktu yang tak pernah henti
adalah alam yang tak pernah lari
terus
saja kau mengayuh
pada
pelarian matahari
sekedar
ajari aku maknai hidup
bagai
warna catur
yang
tak teratur.
Dan
Jika aku ditanya tentang pahlawan
maka namamulah yang kusebut
pada paragraf awal
IBU…….
sebab setetes pena
sempat mengejamu.
Tentang
Aku, Kau, dan Dia
Kutulis dalam sajak-sajak yang lusuh
tentang aku, kau, dan dia
berbaur menjadi satu.
Masihkah kau ingat?
Kala kau menangis tersedu dalam peradu
lalu ku nyanyikan kau sebuah lagu
sambil bergoyang, membuatmu terpaku pilu
dan tak ada lagi rona merah di pipimu.
Dik, jika kau besar nanti
jangan biarkan sajak-sajak itu lusuh
siramilah dia dengan secangkir tinta
yang selalu kau iringi dengan cinta
agar dia teteap subur penuh makna
lalu tulislah tentang aku, kau, dan dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar